M.Irsyad.K (14512324)
Ratu Dwi Nanda (16512050)
Retno Nurul Imaniar (16512167)
Bentuk-bentuk psikoterapi integratif sangat bervariasi
tergantung pada versi tertentu yang sedang dipertimbangkan, namun semua berbagi
satu tujuan dan maksud bersama. Psikoterapi integratif adalah hasil dari
perpaduan dari konsep teoritis dan teknik klinis dari dua atau lebih sekolah
psikoterapi tradisional (seperti terapi psikoanalisis dan behavior) menjadi
satu pendekatan terapi. Diharapkan bahwa terapi sintesis ini akan lebih kuat
dan berlaku untuk populasi dan masalah klinis yang lebih luas daripada
psikoterapi model individual yang membentuk dasar dari model integrasi.
Sejarah awal upaya integrasi disusun oleh Marvin Goldfried dan
Cory Newman pada tahun 1992, dan oleh Jerold Gold pada tahun 1993,
diidentifikasi terpencar tapi memiliki kontribusi yang penting sejak 1933,
ketika Thomas French berpendapat bahwa konsep dari pembelajaran Pavlov harus
diintegrasikan dengan psikoanalisis. Pada tahun 1944, Robert Sears menawarkan
sebuah perpaduan dari teori belajar dan psikoanalisis seperti yang dilakukan
John Dollard dan Neal Miller pada tahun 1950 yang diterjemahkan dari konsep dan
metode psikoanalisis ke dalam bahasa dan kerangka prinsip-prinsip pembelajaran
laboratorium.
Upaya awal klinis mengintegrasikan intervensi behavioral dan
psikoanalitik dalam kasus tunggal diperkenalkan oleh Bernard
Weitzman pada tahun 1967, pada tahun 1971 oleh Judd Marmor, dan pada tahun 1973
oleh Benjamin Feather dan John Rhodes. Upaya-upaya klinis ini menunjukkan bahwa
faktor ketidaksadaran pada pasien psikopatologi bisa diperbaiki melalui metode
behavioral bersama dengan eksplorasi dan interpretasi psikodinamik tradisional.
Dalam dua dekade terakhir sejumlah pendekatan integratif penting
untuk psikoterapi telah dikembangkan. Pada tahun 1977, Paul Watchel menerbitkan
sebuah buku terobosan yang menganjurkan integrasi antara teori psikoanalitik
dan teori belajar sosial, dan menunjukkan cara-cara dimana klinisi harus
menggunakan intervensi psikoanalitik dan behavioral yang efektif dengan satu
pasien.
Pendekatan integratif ini menerima perhatian yang besar dalam
terapi behavioral dan masyarakat psikoanalitik, dan diikuti oleh upaya-upaya
lain yang mendukung adanya dialog antara klinisi dari berbagai orientasi,
seperti artikel dan buku yang terfokus pada topik integratif. Pada tahun 1984
Hal Arkowitz dan Stanley Messer menerbitkan tentang perilaku terapis yang
menonjol dan diskusi terapis psikoanalitik, serta perdebatan tentang
kemungkinan dua sistem integrasi.
Pada tahun 1992 John Norcross dan Marvin Goldfried menerbitkan
sebuah buku pegangan yang menyajikan variasi perkembangan yang lengkap dari
sistem psikoterapi integratif. Upaya ini diikuti pada tahun 1993 oleh George
Stricker dan Jerold Gold dimana lebih banyak model integratif yang disajikan
dan kegunaan klinis dari psikoterapi integratif dieksplorasi berkaitan dengan
variasi masalah dan populasi klinis.
Bagian ini mengilustrasikan model integratif yang tidak lagi
berfokus pada sintesis psikoanalitik dan behavioral. Upaya integratif baru
telah menggabungkan humanistik, kognitif, eksperiensial, dan model sistem
keluarga satu sama lain dengan komponen psikoanalitik dan perilaku dengan
komunikasi yang lebih mutakhir dan canggih.
Proses psikoterapi eksperiensial merupakan
sebuah inovasi yang diperkenalkan oleh Leslie Greenberg, Laura Rice, dan Robert
Elliot pada tahun 1993, acceptance and commitment
therapy (ACT) yang dijelaskan oleh Steven Hayes, Kirk Stroshal,
dan Kelly Wilson pada tahun 1999, adalah contoh penting pendekatan integratif
yang sangat bergantung pada pendekatan integrasi humanistik dan eksperiensial
dengan terapi perilaku kognitif.
Demikian pula model integratif yang digabung dengan
eksistensial, humanistik, dan terapi naratif yang dijelaskan oleh Alphons
Richert. Sistem psikoterapi ini telah menerima peningkatan perhatian pada
bagian klinisidan peneliti, dan menjadi alternatif yang layak bagi
sekolah-sekolah psikoterapi.
Pada tahun 1992 John Norcross dan Cory Newman mengidentifikasi
delapan variabel yang mendorong penyebaran psikoterapi integratif setelah
puluhan tahun, yaitu:
- meningkatnya jumlah sekolah psikoterapi
- kurang jelasnya dukungan empiris untuk keberhasilan
sekolah terapi
- kegagalan teori tunggal untuk menjelaskan dan
memprediksi patologi atau perubahan perilaku dan kepribadian
- pertumbuhan jumlah dan kepentingan jangka pendek,
psikoterapi terfokus
- komunikasi yang lebih besar antara klinisi dan sarjana
yang menghasilkan kesediaan, kesempatan, dan eksperimentasi
- gangguan dalam ruang konsultasi dari realitas dukungan
sosial ekonomi yang terbatas oleh pihak ketiga untuk psikoterapi jangka
panjang
- identifikasi faktor-faktor umum dalam psikoterapi yang
terkait dengan hasil
- perkembangan organisasi profesi, konferensi, dan jurnal
yang didedikasikan untuk diskusi dan studi perspektif integratif.
Ada beberapa macam perspektif utama yang digunakan dalam
psikoterapi. Beberapa aspek dari berbagai macam teori dapat terlihat berguna
dan menarik, sehingga sulit menentukan pendekatan mana yang terbaik. Kebanyakan
klinisi memilih aspek dari berbagai macam model, tidak memperkecilnya dengan
hanya menggunakan satu pendekatan saja.
Pada kenyataannya, dalam beberapa dekade ini, ada perubahan
dramatis dari pendekatan klinis yang dangkal yang bersumber dari satu model
teori. Sebagian besar klinisi akan menggunakan pendekatan yang dianggap
eklektik atau integral. Terapis melihat kebutuhan klien dari berbagai macam
perspektif dan mengembangkan perencanaan treatmen yang dapat memberikan
pengaruh terhadap permasalahan yang dihadapi.
UNSUR – UNSUR TERAPI
- Tujuan
Tujuan konseling dalam perspektif integratif yaitu membantu
konseli mengembangkan integritasnya pada level tertinggi, yang ditandai oleh
adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan. Untuk mencapai tujuan
yang ideal ini maka konseli perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi
masalahnya, mengajarkan konseli secara sadar dan intensif memiliki latihan
pengendalian di atas masalah tingkah laku. Terapi ini berfokus secara langsung
pada tingkah laku, tujuan, masalah dan sebagainya.
- Peran Konselor
Peran konselor sebenarnya tidak terdefinisi secara khusus. Hanya
saja dikemukakan peran konselor sangat ditentukan oleh pendekatan yang
digunakan dalam proses konseling itu. Jika dalam proses konseling itu
menggunakan psikoanalisis, maka peran konselor adalah sebagai psikoanalisis,
sementara jika pendekatan yang digunakan adalah berpusat pada konseli maka
perannya sebagai partner konseli dalam membuka diri terhadap segenap
pengalamannya.
Beberapa ahli memberi penekanan bahwa konselor
perlu memberi perhatian kepada konseli, menciptakan iklim yang kondusif bagi
perubahan yang diinginkan konseli. Pada dasarnya seluruh pendekatan
berkeinginan membantu konseli mengubah diri konseli.Konselor dalam mencapai
tujuannya dapat berperan secara bervariasi, misalnya sebagai:konselor,
psikiater, guru, konsultan, fasilitator, mentor, advisor, atau
pelatih.
TEKNIK – TEKNIK TERAPI
Goldfried dan Norcross berpendapat bahwa dalam perspektif
integratif terdapat tiga teknik terapi, yaitu: (1) teknik dengan pendekatan
eklektik, (2) integrasi teoritis, dan (3) pendekatan faktor umum.
Pendekatan yang menggunakan teknik dengan
pendekatan eklektik (technical eclecticism)berusaha
untuk mencocokan antara intervensi spesifik bagi setiap klien dan dalam hal
menampilkan permasalahan. Para terapis tersebut tidak berafiliasi dengan model
teoritis tertentu, tetapi mereka bersedia mengakui bahwa teknik tertentu dapat
efektif dalam menangani permasalahan tertentu.
Misalnya, terapis yang tidak terlalu sering menggunakan teknik
perilaku dapat memahami kelebihan dari desentisiasi sistemik dalam merawat
klien dengan fobia dan penggunaan teknik-teknik yang bersifat eksplorasi dalam
memahami sumber perkembangan dari ketakutan dan gaya dependen klien tersebut.
Eklektikisme (electicsm) adalah pandangan yang berusaha
menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau doktrin, yang dimaksudkan untuk
memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Teori-teori yang
dipelajari tersebut dalam beberapa hal dapat dikatakan benar sekalipun tampak
satu dengan lainnya saling bertentangan. Eklektikisme berusaha untuk
mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang
tepat.
Pendekatan konseling eklektik berarti konseling yang didasarkan
pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu pendekatan secara
eksklusif. Eklektikisme berpandangan bahwa sebuah teori memiliki keterbatasan
konsep, prosedur, dan teknik. Karena itu eklektikisme “dengan sengaja”
mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan riil
konseli.
Dari tahun 1945 hingga meninggalnya tahun 1978, Thorne telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi upaya pengintegrasian seluruh
pengetahuan psikologi ke dalam pendekatan yang sistematis dan komprehensif
untuk konseling dan psikoterapi. Dari kerja kerasnya ini Thorne memperoleh
sambutan positif dan sangat luas dari kalangan psikolog.
Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pada 1945 tidak ada
anggota APA khususnya Divisi Psikologi Klinis yang berkiblat pada ekletik, dan
pada 1970 lebih 50% anggota APA telah merujuk pada ekletik. Pertengahan tahun
1970-an 64% telah berorientasi pada eklektik (Gilliland dkk., 1984). Oleh
karena itu, menurut Prochoska (1984), konseling eklektik telah menjadi aliran
konseling yang paling populer di antara terapi modern yang ada.
Di antara ahli-ahli eklektik adalah Brammer dan Shostrom sejak
1960 yang mengembangkan model konseling yang dinamakan “actualization
counseling”, dan telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja lebih luas,
yang tidak terbatas pada satu perdekatan tetapi mengupayakan pendekatan yang
integratif dari berbagai pendekatan.
Pada akhir 1960-an hingga 1977, R. Carkhuff
juga telah mengembangkan konseling eklektik, dengan cara melakukan testing dan riset secara konprehensif, sistematik,
dan terintegratif. Ahli lain yang turut membantu pengembangan konseling ekletik
diantaranya G. Egan dengan istilah systemic helping,
Prochaska (1984) dengan nama integrative eclectic.
Integrasi teoritis (theoretical integration)melibatkan formulasi
pendekatan psikoterapi yang memberikan model yang berbeda-beda dan memberikan
dasar yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang. Misalnya, klinisi secara
konsisten dapat memilih dua dasar teoritis, seperti sistem keluarga dan
perilaku kognitif yang kemudian dari kedua dasar teoritis tersebut klinisi
mengembangkan model intervensi.
Dengan cara tertentu, klinisi mengembangkan modelnya sendiri
berdasarkan sintesis konseptual yang memberikan kontribusi terhadap model yang
telah dikembangkan sebelumnya. Pada permasalahan independen yang ada saat ini,
terapis dengan konsisten dapat mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang
maladaptif memberikan kontribusi terhadap stres pada klien. Intervensi yang
dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua model secara
bersamaan.
Pada saat menggunakan pendekatan faktor umum (common factor approach) pada integrasi, klinisi mengembangkan
strategi dengan mempelajari kesamaan inti unsur dari berbagai macam terapi dan
memilih komponen yang selama beberapa waktu memperlihatkan sebagai
kontributor yang sangat efektif dalam memberikan hasil yang positif dari
psikoterapi. Dukungan yang kuat telah muncul dalam beberapa tahun terakhir
terhadap pentingnya membina hubungan antara klien dan terapis dalam menentukan
efisiensi treatmen.
Sejalan dengan analisis ilmiah yang dapat dipercaya mengenai
hasil penelitian psikoterapi, Wampold (dalam Halgin & Whitbourne, 2010)
menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan dengan teknik yang spesifik
adalah faktor yang dapat membuat psikoterapi bekerja.
Pada kenyatannya, ia mempertimbangkan
faktor-faktor yang saling bergabung sebagai komponenkunci dari psikoterapi.
“Penggabungan tampaknya merupakan aspek yang penting dari terapi, tanpa
menghiraukan sifat dasar terapi”. Beberapa klinisi mengombinasikan elemen dari
tiga pendekatan integral yang menghasilkan dengan apa yang disebut
sebagai mixed model of integration.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (6th. ed.).
California: Brooks/Cole Publishing Company.
Halgin, Richard P.,
& Susan Krauss Whitbourne. 2010. Psikologi Abnormal Edisi 6
Buku 1.Jakarta : Salemba Humanika
Sipon, S,. &
Hussin, R. 2012. Teori Kaunseling dan Psikoterapi.
Edisi 3. Cetakan 2. Malaysia: USIM
Wade, C., &
Tavris, C. Psikologi. Jilid 1. Edisi 9.
Jakarta: Gramedia
CONTOH KASUS:
Mr. X adalah seorang pria lajang berusia 30 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena menderita gangguan distimik (suatu kondisi kronis yang ditandai dengan gejala depresi yang terjadi hampir sepanjang hari), selama beberapa tahun terakhir ini. Setelah dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. X tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar 17 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan karir yang menguntungkan di industri musik untuk menjadi seorang musisi. Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungan dan hanya menerima terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu dan berhenti berbicara kepada mereka.
Mr. X adalah seorang pria lajang berusia 30 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena menderita gangguan distimik (suatu kondisi kronis yang ditandai dengan gejala depresi yang terjadi hampir sepanjang hari), selama beberapa tahun terakhir ini. Setelah dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. X tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar 17 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan karir yang menguntungkan di industri musik untuk menjadi seorang musisi. Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungan dan hanya menerima terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu dan berhenti berbicara kepada mereka.
Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati nya,
kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya. Namun, seperti
mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi
jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan orang tuanya.
Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada orang tuanya, rasa bersalah dan
rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis
bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan
pilihannya. Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses
defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah
kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar
pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus
diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar
dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap
menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran
adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini, restrukturisasi kognitif dimulai dengan dua
tujuan: pertama, untuk meringankan penderitaan klien, dan kedua, untuk
mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan oleh kehadiran
pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya. Penggunaan
integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi asimilatif, karena
melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan cara ini Mr. X sukses
melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun meningkat secara
signifikan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus internal untuk
kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika mengingat orang
tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas penolakan mereka
yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi restrukturisasi kognitif pada kenyataannya telah
mencapai tujuan asimilatif yang membuat klien lebih mudah menyadari dan
mengakui konflik emosional alam bawah sadarnya.
ANALISIS
Kasus tersebut menggunakan teknik perspektif integratif dimana penyelesaian masalah klien menggunakan terapi. Terapi yang digunakan adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk menemukan dan menelusuri penyebab dari permasalahan yang dihadapinya dan hal-hal yang tersimpan dalam alam bawah sadarnya. Terapi ini berhasil membuat klien menyadari konflik emosional yang dialaminya dan menurunkan rasa penyesalan serta rasa gagal klien.
Kasus tersebut menggunakan teknik perspektif integratif dimana penyelesaian masalah klien menggunakan terapi. Terapi yang digunakan adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk menemukan dan menelusuri penyebab dari permasalahan yang dihadapinya dan hal-hal yang tersimpan dalam alam bawah sadarnya. Terapi ini berhasil membuat klien menyadari konflik emosional yang dialaminya dan menurunkan rasa penyesalan serta rasa gagal klien.
Sumber :
Jerry, G. 2002. Encyclopedia of Psychotherapy:
Integrative Approaches of
Psychotherapy.
USA: Elsevier Science