Jumat, 26 Juni 2015

PERSPEKTIF INTEGRATIF

M.Irsyad.K (14512324)
Ratu Dwi Nanda (16512050)
Retno Nurul Imaniar (16512167)
Bentuk-bentuk psikoterapi integratif sangat bervariasi tergantung pada versi tertentu yang sedang dipertimbangkan, namun semua berbagi satu tujuan dan maksud bersama. Psikoterapi integratif adalah hasil dari perpaduan dari konsep teoritis dan teknik klinis dari dua atau lebih sekolah psikoterapi tradisional (seperti terapi psikoanalisis dan behavior) menjadi satu pendekatan terapi. Diharapkan bahwa terapi sintesis ini akan lebih kuat dan berlaku untuk populasi dan masalah klinis yang lebih luas daripada psikoterapi model individual yang membentuk dasar dari model integrasi.
Sejarah awal upaya integrasi disusun oleh Marvin Goldfried dan Cory Newman pada tahun 1992, dan oleh Jerold Gold pada tahun 1993, diidentifikasi terpencar tapi memiliki kontribusi yang penting sejak 1933, ketika Thomas French berpendapat bahwa konsep dari pembelajaran Pavlov harus diintegrasikan dengan psikoanalisis. Pada tahun 1944, Robert Sears menawarkan sebuah perpaduan dari teori belajar dan psikoanalisis seperti yang dilakukan John Dollard dan Neal Miller pada tahun 1950 yang diterjemahkan dari konsep dan metode psikoanalisis ke dalam bahasa dan kerangka prinsip-prinsip pembelajaran laboratorium.
Upaya awal klinis mengintegrasikan intervensi behavioral dan psikoanalitik dalam kasus tunggal diperkenalkan oleh  Bernard Weitzman pada tahun 1967, pada tahun 1971 oleh Judd Marmor, dan pada tahun 1973 oleh Benjamin Feather dan John Rhodes. Upaya-upaya klinis ini menunjukkan bahwa faktor ketidaksadaran pada pasien psikopatologi bisa diperbaiki melalui metode behavioral bersama dengan eksplorasi dan interpretasi psikodinamik tradisional.
Dalam dua dekade terakhir sejumlah pendekatan integratif penting untuk psikoterapi telah dikembangkan. Pada tahun 1977, Paul Watchel menerbitkan sebuah buku terobosan yang menganjurkan integrasi antara teori psikoanalitik dan teori belajar sosial, dan menunjukkan cara-cara dimana klinisi harus menggunakan intervensi psikoanalitik dan behavioral yang efektif dengan satu pasien.
Pendekatan integratif ini menerima perhatian yang besar dalam terapi behavioral dan masyarakat psikoanalitik, dan diikuti oleh upaya-upaya lain yang mendukung adanya dialog antara klinisi dari berbagai orientasi, seperti artikel dan buku yang terfokus pada topik integratif. Pada tahun 1984 Hal Arkowitz dan Stanley Messer menerbitkan tentang perilaku terapis yang menonjol dan diskusi terapis psikoanalitik, serta perdebatan tentang kemungkinan dua sistem integrasi.
Pada tahun 1992 John Norcross dan Marvin Goldfried menerbitkan sebuah buku pegangan yang menyajikan variasi perkembangan yang lengkap dari sistem psikoterapi integratif. Upaya ini diikuti pada tahun 1993 oleh George Stricker dan Jerold Gold dimana lebih banyak model integratif yang disajikan dan kegunaan klinis dari psikoterapi integratif dieksplorasi berkaitan dengan variasi masalah dan populasi klinis.
Bagian ini mengilustrasikan model integratif yang tidak lagi berfokus pada sintesis psikoanalitik dan behavioral. Upaya integratif baru telah menggabungkan humanistik, kognitif, eksperiensial, dan model sistem keluarga satu sama lain dengan komponen psikoanalitik dan perilaku dengan komunikasi yang lebih mutakhir dan canggih.
Proses psikoterapi eksperiensial merupakan sebuah inovasi yang diperkenalkan oleh Leslie Greenberg, Laura Rice, dan Robert Elliot pada tahun 1993, acceptance and commitment therapy (ACT) yang dijelaskan oleh Steven Hayes, Kirk Stroshal, dan Kelly Wilson pada tahun 1999, adalah contoh penting pendekatan integratif yang sangat bergantung pada pendekatan integrasi humanistik dan eksperiensial dengan terapi perilaku kognitif.
Demikian pula model integratif yang digabung dengan eksistensial, humanistik, dan terapi naratif yang dijelaskan oleh Alphons Richert. Sistem psikoterapi ini telah menerima peningkatan perhatian pada bagian klinisidan peneliti, dan menjadi alternatif yang layak bagi sekolah-sekolah psikoterapi.
Pada tahun 1992 John Norcross dan Cory Newman mengidentifikasi delapan variabel yang mendorong penyebaran psikoterapi integratif setelah puluhan tahun, yaitu:
  • meningkatnya jumlah sekolah psikoterapi
  • kurang jelasnya dukungan empiris untuk keberhasilan sekolah terapi
  • kegagalan teori tunggal untuk menjelaskan dan memprediksi patologi atau perubahan perilaku dan kepribadian
  • pertumbuhan jumlah dan kepentingan jangka pendek, psikoterapi terfokus
  • komunikasi yang lebih besar antara klinisi dan sarjana yang menghasilkan kesediaan, kesempatan, dan eksperimentasi
  • gangguan dalam ruang konsultasi dari realitas dukungan sosial ekonomi yang terbatas oleh pihak ketiga untuk psikoterapi jangka panjang
  • identifikasi faktor-faktor umum dalam psikoterapi yang terkait dengan hasil
  • perkembangan organisasi profesi, konferensi, dan jurnal yang didedikasikan untuk diskusi dan studi perspektif integratif.
Ada beberapa macam perspektif utama yang digunakan dalam psikoterapi. Beberapa aspek dari berbagai macam teori dapat terlihat berguna dan menarik, sehingga sulit menentukan pendekatan mana yang terbaik. Kebanyakan klinisi memilih aspek dari berbagai macam model, tidak memperkecilnya dengan hanya menggunakan satu pendekatan saja.
Pada kenyataannya, dalam beberapa dekade ini, ada perubahan dramatis dari pendekatan klinis yang dangkal yang bersumber dari satu model teori. Sebagian besar klinisi akan menggunakan pendekatan yang dianggap eklektik atau integral. Terapis melihat kebutuhan klien dari berbagai macam perspektif dan mengembangkan perencanaan treatmen yang dapat memberikan pengaruh terhadap permasalahan yang dihadapi.

UNSUR – UNSUR TERAPI
  1. Tujuan
Tujuan konseling dalam perspektif integratif yaitu membantu konseli mengembangkan integritasnya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan. Untuk mencapai tujuan yang ideal ini maka konseli perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan konseli secara sadar dan intensif memiliki latihan pengendalian di atas masalah tingkah laku. Terapi ini berfokus secara langsung pada tingkah laku, tujuan, masalah dan sebagainya.

  1. Peran Konselor
Peran konselor sebenarnya tidak terdefinisi secara khusus. Hanya saja dikemukakan peran konselor sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses konseling itu. Jika dalam proses konseling itu menggunakan psikoanalisis, maka peran konselor adalah sebagai psikoanalisis, sementara jika pendekatan yang digunakan adalah berpusat pada konseli maka perannya sebagai partner konseli dalam membuka diri terhadap segenap pengalamannya.
Beberapa ahli memberi penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian kepada konseli, menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan yang diinginkan konseli. Pada dasarnya seluruh pendekatan berkeinginan membantu konseli mengubah diri konseli.Konselor dalam mencapai tujuannya dapat berperan secara bervariasi, misalnya sebagai:konselor, psikiater, guru, konsultan, fasilitator,  mentor, advisor, atau pelatih.

TEKNIK – TEKNIK TERAPI
Goldfried dan Norcross berpendapat bahwa dalam perspektif integratif terdapat tiga teknik terapi, yaitu: (1) teknik dengan pendekatan eklektik, (2) integrasi teoritis, dan (3) pendekatan faktor umum.
Pendekatan yang menggunakan teknik dengan pendekatan eklektik (technical eclecticism)berusaha untuk mencocokan antara intervensi spesifik bagi setiap klien dan dalam hal menampilkan permasalahan. Para terapis tersebut tidak berafiliasi dengan model teoritis tertentu, tetapi mereka bersedia mengakui bahwa teknik tertentu dapat efektif dalam menangani permasalahan tertentu.
Misalnya, terapis yang tidak terlalu sering menggunakan teknik perilaku dapat memahami kelebihan dari desentisiasi sistemik dalam merawat klien dengan fobia dan penggunaan teknik-teknik yang bersifat eksplorasi dalam memahami sumber perkembangan dari ketakutan dan gaya dependen klien tersebut.
Eklektikisme (electicsm) adalah pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Teori-teori yang dipelajari tersebut dalam beberapa hal dapat dikatakan benar sekalipun tampak satu dengan lainnya saling bertentangan. Eklektikisme berusaha untuk mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang tepat.
Pendekatan konseling eklektik berarti konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu pendekatan secara eksklusif. Eklektikisme berpandangan bahwa sebuah teori memiliki keterbatasan konsep, prosedur, dan teknik. Karena itu eklektikisme “dengan sengaja” mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan riil konseli.
Dari tahun 1945 hingga meninggalnya tahun 1978, Thorne telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi upaya pengintegrasian seluruh pengetahuan psikologi ke dalam pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk konseling dan psikoterapi. Dari kerja kerasnya ini Thorne memperoleh sambutan positif dan sangat luas dari kalangan psikolog.
Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pada 1945 tidak ada anggota APA khususnya Divisi Psikologi Klinis yang berkiblat pada ekletik, dan pada 1970 lebih 50% anggota APA telah merujuk pada ekletik. Pertengahan tahun 1970-an 64% telah berorientasi pada eklektik (Gilliland dkk., 1984). Oleh karena itu, menurut Prochoska (1984), konseling eklektik telah menjadi aliran konseling yang paling populer di antara terapi modern yang ada.
Di antara ahli-ahli eklektik adalah Brammer dan Shostrom sejak 1960 yang mengembangkan model konseling yang dinamakan “actualization counseling”, dan telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja lebih luas, yang tidak terbatas pada satu perdekatan tetapi mengupayakan pendekatan yang integratif dari berbagai pendekatan.
Pada akhir 1960-an hingga 1977, R. Carkhuff juga telah mengembangkan konseling eklektik, dengan cara melakukan testing dan riset secara konprehensif, sistematik, dan terintegratif. Ahli lain yang turut membantu pengembangan konseling ekletik diantaranya G. Egan dengan istilah systemic helping, Prochaska (1984) dengan nama integrative eclectic.
Integrasi teoritis (theoretical integration)melibatkan formulasi pendekatan psikoterapi yang memberikan model yang berbeda-beda dan memberikan dasar yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang. Misalnya, klinisi secara konsisten dapat memilih dua dasar teoritis, seperti sistem keluarga dan perilaku kognitif yang kemudian dari kedua dasar teoritis tersebut klinisi mengembangkan model intervensi.
Dengan cara tertentu, klinisi mengembangkan modelnya sendiri berdasarkan sintesis konseptual yang memberikan kontribusi terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada permasalahan independen yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang maladaptif memberikan kontribusi terhadap stres pada klien. Intervensi yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua model secara bersamaan.
Pada saat menggunakan pendekatan faktor umum (common factor approach) pada integrasi, klinisi mengembangkan strategi dengan mempelajari kesamaan inti unsur dari berbagai macam terapi dan memilih komponen yang selama beberapa waktu  memperlihatkan sebagai kontributor yang sangat efektif dalam memberikan hasil yang positif dari psikoterapi. Dukungan yang kuat telah muncul dalam beberapa tahun terakhir terhadap pentingnya membina hubungan antara klien dan terapis dalam menentukan efisiensi treatmen.
Sejalan dengan analisis ilmiah yang dapat dipercaya mengenai hasil penelitian psikoterapi, Wampold (dalam Halgin & Whitbourne, 2010) menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan dengan teknik yang spesifik adalah faktor yang dapat membuat psikoterapi bekerja.
Pada kenyatannya, ia mempertimbangkan faktor-faktor yang saling bergabung sebagai komponenkunci dari psikoterapi. “Penggabungan tampaknya merupakan aspek yang penting dari terapi, tanpa menghiraukan sifat dasar terapi”. Beberapa klinisi mengombinasikan elemen dari tiga pendekatan integral yang menghasilkan dengan apa yang disebut sebagai mixed model of integration.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (6th. ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.
Halgin, Richard P., & Susan Krauss Whitbourne. 2010. Psikologi Abnormal Edisi 6 Buku 1.Jakarta : Salemba Humanika
Sipon, S,. & Hussin, R. 2012. Teori Kaunseling dan Psikoterapi. Edisi 3. Cetakan 2. Malaysia: USIM
Wade, C., & Tavris, C. Psikologi. Jilid 1. Edisi 9. Jakarta: Gramedia


CONTOH KASUS:
Mr. X adalah seorang pria lajang berusia 30 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena menderita gangguan distimik (suatu kondisi kronis yang ditandai dengan gejala depresi yang terjadi hampir sepanjang hari), selama beberapa tahun terakhir ini. Setelah dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. X tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar 17 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan karir yang menguntungkan di industri musik untuk menjadi seorang musisi. Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungan dan hanya menerima terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu dan berhenti berbicara kepada mereka.
Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya. Namun, seperti mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan orang tuanya. Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada orang tuanya, rasa bersalah dan rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan pilihannya. Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini, restrukturisasi kognitif dimulai dengan dua tujuan: pertama, untuk meringankan penderitaan klien, dan kedua, untuk mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan oleh kehadiran pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya. Penggunaan integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi asimilatif, karena melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan cara ini Mr. X sukses melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun meningkat secara signifikan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus internal untuk kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika mengingat orang tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas penolakan mereka yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi restrukturisasi kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif yang membuat klien lebih mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam bawah sadarnya.

ANALISIS
Kasus tersebut menggunakan teknik perspektif integratif dimana penyelesaian masalah klien menggunakan terapi. Terapi yang digunakan adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk menemukan dan menelusuri penyebab dari permasalahan yang dihadapinya dan hal-hal yang tersimpan dalam alam bawah sadarnya. Terapi ini berhasil membuat klien menyadari konflik emosional yang dialaminya dan menurunkan rasa penyesalan serta rasa gagal klien.
Sumber :
Jerry, G. 2002. Encyclopedia of Psychotherapy: Integrative Approaches of Psychotherapy.             USA: Elsevier Science